Perang
kemerdekaan bangsa Belanda melawan Spanyol yang berlangsung sejak tahun 1560-an hingga 1648 telah membawa
perubahan besar, bangsa Belanda yang telah bertindak sebagai perantara
dalam penjualan rempah-rempah secara eceran dari Portugal ke Eropa bagian
utara mulai terganggu ketika terjadi perang kemerdekaan melawan persatuan antara raja Spanyol
dan raja Portugal pada tahun 1580 yang berakibat kacaunya jalur mereka untuk mendapatkan
rempah-rempah yang di bawa dari Asia oleh orang-orang Portugis.[1]
Hal
itulah yang menyebabkan bangsa Belanda berlayar ke Nusantara untuk mengapalkan
sendiri rempah-rempah secara langsung dari Nusantara, pada tahun 1595 ekspedisi
Belanda yang pertama siap berlayar menuju Nusantara. Empat buah kapal berangkat
di bawah pimpinan Cornelis de Houtman, jalan laut ke arah Timur (Asia)
dilakukan bangsa Belanda sejak akhir abad ke-16 setelah berhasil memperoleh
peta-peta dan informasi ke Timur dari bangsa Italia (Venesia) yang banyak
berjasa membuat peta ke Timur yang kemudian digunakan oleh bangsa Portugis.[2] Selain
mengandalkan peta-peta dari Italia, Belanda juga memakai rincian-rincian
pelayaran ke Asia yang di dapatkan dari orang Belanda yang bekerja pada kapal-kapal Portugis yaitu
Jan Huygen van Linschoten yang pada tahun 1595-96 menerbitkan bukunya yang
berjudul Itinerario naer Oost ofte
portugaels Indien (‘Catatan Perjalanan ke Timur atau Hindia Portugis’) yang
memuat peta-peta dan deskripsi-deskripsi yang rinci mengenai penemuan-penemuan
Portugis.
Cornelis
de Houtman berlayar menuju ke Nusantara dengan menyusuri pantai barat Afrika
serta mengitari dan singgah di Tanjung Harapan, setelah melewati Tanjung Harapan mereka
melintasi Samudra Hindia dan masuk ke
Nusantara melalui perairan di selatan Sumatra hingga memasuki Selat Sunda,
di Selat Sunda kapal-kapal de Houtman menerima tawaran dari juragan perahu yang
mengantarkan mereka ke Banten dengan sewa 5 real.
Pada bulan Juni 1596
kapal-kapal Cornelis de Houtman tiba di Banten yang merupakan pelabuhan lada dan
perdagangan rempah-rempah terbesar di pulau Jawa yang ketika itu juga telah
menghimpun hasil-hasil dari daerah-daerah sekitarnya dan juga Maluku, di Banten
orang-orang Belanda terlibat konflik dengan orang-orang Portugis dan pribumi
karena orang Belanda tidak berlaku sopan.
De
Houtman kemudian berlayar kembali
menuju timur dengan menyusuri pantai utara pulau Jawa dan mengitari Selat Bali
menuju Samudera Hindia untuk kembali ke Belanda, pada tanggal 14 Agustus 1597
tiba kembali di Tessel dengan membawa cukup banyak rempah-rempah, dengan
keberhasilan pelayaran pertama tersebut membuat pelayaran-pelayaran berikutnya
meningkat ke Nusantara. Pada tahun 1598 dua puluh dua buah kapal milik lima
perusahaan yang berbeda mengadakan pelayaran menuju Nusantara di bawah pimpinan
van Nede, van Neck, van Heemskerck, dan van Marwijck.
Dengan
dua dari kapalnya, Kapal Amsterdam (200
ton; 60 awak kapal; 6 meriam besar dan 12 meriam kecil dari tembaga yang dapat
menembakkan bola-bola besi; serta 4 meriam besar dan 6 meriam kecil untuk
menembakkan bola-bola batu) dan Kapal Utrecht
yang sedikit lebih kecil-van Warwijck kemudian berlayar ke Ternate untuk
membeli cengkeh. Sedangkan van Heemskerk dengan Kapal Gelderland dan Zeeland yang
lebih mengesankan itu, berlayar ke Pulau Lonthor atau Pulau Banda Besar,
pulau terbesar dari Kepulauan Banda yang mempunyai pohon pala jauh lebih
banyak.[3]
Armada yang berada di bawah pimpinan Jacob van Neck-lah yang pertama tiba di
Maluku pada bulan Maret 1599 dan melakukan pembelian rempah-rempah dan kembali
ke Belanda pada tahun 1599-1600 dengan mengangkut cukup banyak rempah-rempah sehingga menghasilkan
keuntungan sebesar 400 persen. VOC kemudian juga memesan kapal-kapal layar
berukuran kecil yang dapat digunakan di perairan nusantara. Sejak abad ke-17
VOC telah menggunakan
kapal-kapal layar yang kecil sejenis jacht
dan pinas yang berukuran sekitar
100 hingga 250 ton.[4]
Dengan
banyaknya persaingan antara perseroan-perseroan ekspedisi Belanda yang
mengakibatkan banyaknya pengiriman rempah-rempah ke Eropa, mengakibatkan
semakin kecilnya keuntungan yang diperoleh. Oleh sebab itu, pada tahun 1598
parlemen Belanda (staten General)
mengajukan sebuah usulan supaya perseroan-perseroan yang saling bersaing itu
menggabungkan kepentingan mereka ke dalam satu fusi. Akhirnya berhasilah
didirikan Gabungan Perseroan yang pada bulan Maret 1602 disahkan oleh
Staten-General Republik kesatuan Tujuh Propinsi berdasarkan suatu piagam yang
memberi hak eksklusif kepada perseroan untuk berdagang, berlayar, dan memegang
kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan kepulauan Salomon.[5]
Pimpinan VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie) diwakili oleh sistem majelis (kamer) untuk enam wilayah di negeri Belanda yang seluruhnya
berjumlah tujuh belas orang dan disebut Heeren
Zeventien (Tuan-tuan Tujuh Belas).
Waktu VOC mulai kegiatannya di Nusantara dihadapinya suatu
dunia perdagangan internasional dengan sistem terbuka. Perdagangan
rempah-rempah menempati kedudukan yang utama akan tetapi tidak terpisah dari
perdagangan beras, sagu, kain dan komoditi lainnya.[6]
Kain didatangkan oleh pedagang dari Gujarat dan Benggali dan beras dipegang
oleh pedagang Jawa. Dalam jaringan transaksi dan transportasi komoditi-komoditi
tersebut di atas dengan teknologi navigasi dari zaman itu maka dua basis
pemusatan perdagangan dan pelayaran ternyata mempunyai fungsi yang strategis sekali. Garis Malaka-Maluku
memang secara struktural merupakan sistem yang berfungsi secara optimal.[7] Malaka
adalah tempat pemasaran berbagai komoditi seperti lada, rempah-rempah, kayu
cendana dan bahan pakaian dengan mutu tinggi dan Maluku sebagai penghasil
rempah-rempah (pala dan fuli dari Pulau Banda) Selain kedua wilayah tersebut bandar Makassar
juga memiliki peranan sangat penting karena merupakan bandar transito yang menghubungkan
Maluku dan Malaka, sehingga
membuat ramainya perdagangan, barang-barang
dari negeri sekitar mengalir ke Makassar, seperti beras, kayu hitam, dan damar.
Menurut
Poelinggomang (2004: 41), perkembangan bandar Makassar ditentukan oleh tiga
faktor. Pertama, letaknya yang
strategis karena posisinya berada di tengah-tengah dunia perdagangan. Kedua, intervensi bangsa Eropa dalam
dunia niaga telah memberikan peluang bagi pedagang-pedagang di pusat niaga yang
mengitarinya mengalihkan kegiatan mereka ke Makassar. Ketiga, peranan penduduk di daerah sebagai pedagang dan pelaut yang
melakukan pelayaran niaga ke daerah-daerah produksi dan bandar niaga lain, yang
kemudian memperdagangkannya ke bandar Makassar. Kegiatan perdagangan maritim yang
menggunakan perahu dan kapal layar dipengaruhi oleh angin muson, yaitu muson
barat laut dan muson timur. Perubahan muson tersebut menciptakan dua jalur
pelayaran dan perdagangan, yaitu timur-barat dan utara selatan. Jalur
timur-barat menciptakan dua jalur pelayaran penting. Pertama, dari Malaka menyusuri pesisir utara pulau Sumatra dan
pulau Jawa, terus ke Nusa Tenggara sampai pulau Flores dan berlayar memasuki
Maluku bagi yang mencari rempah-rempah dan juga ke Timor dan Sumba (Nusa
Tenggara Timur) untuk memperoleh kayu cendana. Pelayaran balik mengikuti jalur
yang sama. Kedua, dari Malaka ke
Tanjung Pura kemudian ke Makassar terus menuju Buton sampai ke Maluku, dan
kembali dengan jalur yang sama.[8]
Selain melakukan pelayaran untuk perdagangan VOC juga melakukan pelayaran Hongi
dengan perahu kora-kora yang dimaksudkan untuk memantau penanaman dan
perdagangan rempah-rempah oleh petani, pemantauan penanaman bertujuan menjaga
kestabilan produksi,agar jumlahnya tidak berlebihan, kalau jumlah terbatas,
harga rempah-rempah di Eropa akan tetap tinggi. Adapun pemantauan perdagangan
dimaksudkan agar petani tidak menjual hasil panennya kepada pembeli selain VOC.
Pada
waktu itu Belanda hanya menguasai jalur-jalur
pelayaran yang menghubungkan enclave-enclave mereka seperti Makassar,
Manado, Ternate, Ambon, Banda, Bima, Kupang, Banjarmasin, Sambas, Pontianak,
Palembang, Lampung, Padang, dan pelabuhan-pelabuhan di Jawa. Diluar jalur-jalur
utama itu perdagangan antardaerah di dominasi oleh pelayaran pribumi.[9] Di
daerah-daerah itulah VOC berhubungan dengan Kerajaan-kerajaan yang
menimbulkan terjadinya pertempuran
melawan VOC yang diakibatkan keinginan VOC melakukan monopoli perdagangan
diantaranya adalah Kerajaan Banten,Kerajaan Mataram dan Kerajaan Makassar.
Letak
Banten di dekat Selat Sunda sebagai pintu gerbang alternatif bagi pelayaran
dari Barat menguntungkan perdagangannya karena menarik banyak pedagang Barat
dan juga Asia seperti Persia, India, Siam, Vietnam, China, Filipina, dan Jepang.
Kerajaan Banten juga memiliki suatu armada yang memiliki model Eropa,
kapal-kapal yang berlayar juga sudah menggunakan surat jalan. Namun akibat
intervensi VOC yang ingin menguasai monopoli perdagangan lada Banten yang
sangat banyak yang mengakibatkan Kerajaan
Banten mengalami krisis pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, Perang
merebut Jakarta dari tangan Pangeran Wijayakrama, sekitar tahun 1618-1619, juga
menimbulkan reaksi dari Kerajaan Banten yang merasa akan lebih terancam baik
kedudukan ekonomi maupun politiknya. Kecuali itu, Jakarta sebelum dikuasai oleh
VOC merupakan daerah yang dianggap bagian dari Kerajaan Banten. Reaksi Kerajaan
Banten ini memuncak menjadi perang yang terus menerus memuncak pada zaman
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Diantaranya pada tahun 1656
Kerajaan Banten menyerang markas VOC di Batavia dan menghancurkan kapal-kapal
VOC, akibat serangan itu VOC menyusun suatu rencana penyelesaian dengan cara
ikut campur dalam konflik internal Kerajaan Banten yang waktu itu terjadi
pertikaian antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya Sultan Haji yang
sama-sama memiliki ambisi kekuasaan. Sultan Haji yang di bantu oleh VOC
akhirnya berhasil menaiki tahta kekuasaan, dengan naiknya Sultan Haji sebagai
penguasa Banten akhirnya Kerajaan Banten masuk kedalam pengaruh VOC yang mengakibatkan
Banten melepaskan kebijakan pelabuhan yang bebas, mengusir para pedagang selain
VOC dan memonopoli perdagangan lada.
Salah
satu motif utama yang mendorong VOC ikut campur tangan dalam politik Kerajaan
Mataram adalah keinginan untuk menguasai daerah Pesisir. Negeri ini menjadi
semakin penting bagi VOC bukan karena ekspor utama VOC berasal dari sana atau
karena menjadi pusat pemasok beras, yang tanpa itu Belanda dan sekutu-sekutunya
tidak dapat hidup , dan kayu, yang tanpa itu mereka tidak dapat membangun
kapal-kapal mereka, Kerajaan ini juga merupakan suatu ancaman yang potensial
bagi keamanan Batavia, kepentingan dagang VOC hampir seluruhnya terbatas di
pesisir Jawa, tetapi kejadian-kejadian di sana mempunyai kaitan yang sangat
erat dengan wilayah pedalaman sehingga orang-orang Belanda akhirnya terpaksa
bergerak ke jantung Pulau Jawa.[10] Setelah
VOC memaksakan monopoli perdagangannya didaerah Pesisir Pulau Jawa dan
penguasaan VOC atas Jakarta tahun 1619 itu juga mengakibatkan ketidaksenangan
Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Sultan Agung yang sedang meluaskan
pengaruhnya ke seluruh Jawa dan daerah-daerah diluar Jawa, reaksi-reaksi
Kerajaan Mataram makin meningkat. Serangan besar-besaran oleh Kerajaan Mataram
pada tahun 1618 dan 1629 terhadap markas VOC di Batavia merupakan bukti-bukti
perlawanan terhadap penetrasi politik VOC.
Sunan Paku Buwono III tetap meneruskan kebijakan politik pendaulunya. Ketegangan
yang mengeras berubah menjadi peperangan berkepanjangan antara keraton yang
disokong penuh oleh VOC melawan pangeran Mangkubumi yang beraliansi dengan
Raden Mas Said. Perang terbuka dan gerilya selama 6 tahun (1749-1755) ternyata
cukup melelahkan
kedua belah
pihak. Pada tanggal 13 Februari 1755 dicapai kesepakatan antara Sunan Paku
Buwono III dengan Pangeran Mangkubumi. Isi perjanjian itu bahwa Pangeran
Mangkubumi diberi separuh kerajaan Mataram dengan ibukota di Yogyakarta.
Perjanjian ini disebut Perjanjian Giyanti atau Babad Palihan Negari. Perjanjian Giyanti ini intinya adalah membagi
Negara Mataram menjadi dua bagian. Separuh diperintah oleh Susuhunan Paku
Buwono III dengan ibukota Surakarta, bagian yang lain dikuasai oleh Susuhunan
Kebanaran yang sejak itu berganti gelarnya menjadi Sultan Hamengku Buwono I,
dengan ibukota Ngayogyakarta.
Bagaimana
juga, kini campur tangan VOC telah memungkinkan seorang raja, meskipun tidak
mendapat dukungan rakyat Jawa yang cukup memadai untuk menjalankan kekuasaan
secara efektif dan menuntut legitimasi, dapat duduk di atas singgasananya. VOC
dapat melindunginya, tetapi tidak dapat membuatnya sah atau memberinya
alat-alat untuk memerintah. VOC selalu percaya bahwa legitimasi itu pada
dasarnya hanya tergantung dari keturunan dari raja sebelumnya. Selanjutnya VOC
percaya bahwa kekuasaan raja lebih absolut daripada yang diperkenankan oleh
tradisi Jawa dan situasi. Oleh karena itulah, maka dalam usahanya menegakkan
stabilitas, VOC mendukung para penguasa yang oleh tokoh-tokoh terkemuka Jawa
diyakini tidak mempunyai hak yang sah atau tidak memiliki kecakapan untuk
memerintah. Dengan demikian, maka pihak Belanda lebih banyak memperburuk
daripada memecahkan sumber instabilis ini.[11]
Politik
laut yang bebas memungkinkan perkembangan perdagangan di bandar Makassar
meningkat serta kemunduran pelabuhan-pelabuhan di jawa mengakibatkan
perkembangan yang pesat dan bandar Makassar yang menjadi pelabuhan transito
atau entrepot antara Maluku dan
Malaka, sangat tergantung pada rempah-rempah dari Maluku, Seram, dan Ambon
serta komoditi lainnya seperti beras serta bahan makanan lainnya dan juga
ekspor penting yaitu, pala dan cengkeh yang didatangkan dari Banda oleh
pedagang Jawa, Melayu, dan kemudian orang Banda sendiri.[12]
Oleh
karena itu, sistem monopoli perdagangan VOC akan mengancam kepentingan Kerajaan
Makassar di bandar Makassar. Setelah Belanda mulai menduduki pulau di daerah
penghasil rempah-rempah terjadi penyelundupan rempah-rempah yang sangat ramai ke
pelabuhan Makassar. Peperangan dengan VOC juga tidak bisa diredam sejak tahun
1615, Belanda menjalin persekutuan dengan pangeran Bugis yaitu Arung Palakka
seorang prajurit yang terkenal. Dengan bantuan Arung Palakka akhirnya belanda
memaksa Sultan Hasanuddin untuk menandatangani Perjanjian Bungaya (18 November
1667). Akan
tetapi, pada mulanya perjanjian ini ternyata juga tidak mempunyai arti.
Hasanuddin mengobarkan lagi pertempuran, sehingga perlu dilakukan sebuah
serangan besar-besaran yang kedua terhadapnya sejak bulan April 1668 sampai
Juni 1669. Kali ini Sultan Makassar dan kaum bangsawan menderita kekalahan yang
sangat menentukan. [13]
kini perjanjian bungaya benar-benar dilaksanakan, sehingga menimbulkan
perubahan besar terhadap politik Sulawesi Selatan.
Pelayaran
Belanda ke Nusantara menimbulkan pengaruh terhadap masyarakat Nusantara seperti
penyebaran agama Kristen, guru-guru sekolah yang didatangkan dari Belanda untuk
mengajar didaerah kekuasaannya menjadikan penduduk setempat menjadi terpelajar
dan menciptakan suatu kristiani yang ditunjang dengan sistem sekolah. Ketika
orang Belanda memenuhi permintaan mereka untuk memberikan hadiah-hadiah kepada
“orang-orang kaya” (kepala kampung atau orang-orang tua) serta pembayaran bagi
syahbandar (kepala pelabuhan), mulailah perdagangan barter antara barang
dagangan Belanda dengan rempah-rempah.[14] Di
empat pulau, yaitu Pulau Ambon, Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau
Nusalaut, masyarakat yang menanam cengkih di lahan-lahan yang diberikan VOC
yang setiap keluarga wajib menanam 80 pohon cengkih dan setelah panen harus di
jual kepada VOC dengan harga 56 ringgit setiap 110kg. Uang yang diterima
penduduk itu digunakan untuk membeli barang-barang “mewah”, seperti berbagai
macam kain cita (chitzen) yang
diimpor VOC dari India, perabot yang terbuat dari besi dan beras yang dijual
para pedagang Makassar, dan lain sebagainya.[15]
Para pedagang dari Makassar dan Jawa berlomba-lomba menerobos blokade
kapal-kapal VOC untuk mendapatkan cengkih di keempat pulau itu, karena sistem
monopoli di keempat pulau itu tidak benar-benar terkendali.
DAFTAR PUSTAKA
Ricklefs,
M. C..Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1995
A.Hanna,
Willard..Indonesian Banda Colonialism and
Its Aftermath in the Nutmeg Islands. Jakarta: PT Gramedia 1983.
Kartodirjo,
Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia
Baru: 1500-1900, dari Emporium sampai Imperium, jilid I . Jakarta: PT
Gramedia, 1987.
Hamid,
Abd Rahman. Sejarah Maritim Indonesia. Yogyakarta:
Ombak, 2013.
Burhanudin,
Safri, et. Al. SejarahMaritim Indonesia:
Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia dalam Proses Integrasi Bangsa sejak
Jaman Prasejarah hingga Abad XVII. Semarang: Pusat Kajian Sejarah dan
Budaya Maritim Asia Tenggara-Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro,
bekerjasama dengan Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Non Hayati, Badan
Riset Kelautan perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003.
Poeponegoro.
Marwati D & Nugroho Notosusanto (2008) Sejarah
Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka, 2008
[1] Ricklefs, M. C..Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1995, hlm 37
[2] Poeponegoro. Marwati D & Nugroho
Notosusanto (2008) Sejarah Nasional
Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm 29
[3] A. Hanna, Willard..Indonesian Banda Colonialism and Its Aftermath in the Nutmeg Islands. Jakarta:
PT Gramedia, 1983. Hlm. 7-9
[4] Poeponegoro. Marwati D & Nugroho
Notosusanto (2008) Sejarah Nasional
Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm 51
[5] J. C. Van Leur, Indonesian Trade and Society, (The
Hague/Bandung, van Hoeve Ltd, 1955), hlm. 176-177
[6] Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, dari Emporium sampai
Imperium, jilid I . Jakarta: PT Gramedia, 1987, hlm 72
[7] Kartodirjo,
Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia
Baru: 1500-1900, dari Emporium sampai Imperium, jilid I . Jakarta: PT
Gramedia, 1987, hlm 73
[9] Burhanudin, Safri, et. Al. SejarahMaritim Indonesia: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia
dalam Proses Integrasi Bangsa sejak Jaman Prasejarah hingga Abad XVII. Semarang:
Pusat Kajian Sejarah dan Budaya Maritim Asia Tenggara-Lembaga Penelitian
Universitas Diponegoro, bekerjasama dengan Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber
Daya Non Hayati, Badan Riset Kelautan perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan
Perikanan, 2003, hlm 83
[10] Ricklefs, M. C..Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1995, hlm 104.
[11] Ricklefs,
M. C..Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1995, hlm 119.
[12] Kartodirjo,
Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia
Baru: 1500-1900, dari Emporium sampai Imperium, jilid I . Jakarta: PT
Gramedia, 1987, hlm 88.
[13] Ricklefs,
M. C..Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1995, hlm 99.
[14] A.
Hanna, Willard..Indonesian Banda
Colonialism and Its Aftermath in the Nutmeg Islands. Jakarta: PT Gramedia,
1983, hlm 11.
[15] Poeponegoro. Marwati D & Nugroho
Notosusanto (2008) Sejarah Nasional
Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm 37