Minggu, 10 Mei 2020

Sejarah Maritim Nusantara Masa Kompeni (VOC) Abad 16-19


Perang kemerdekaan bangsa Belanda melawan Spanyol yang berlangsung sejak tahun 1560-an hingga 1648 telah membawa perubahan besar, bangsa Belanda yang telah bertindak sebagai perantara dalam penjualan rempah-rempah secara eceran dari Portugal ke Eropa bagian utara mulai terganggu ketika terjadi perang kemerdekaan melawan persatuan antara raja Spanyol dan raja Portugal pada tahun 1580 yang berakibat kacaunya jalur mereka untuk mendapatkan rempah-rempah yang di bawa dari Asia oleh orang-orang Portugis.[1]
Hal itulah yang menyebabkan bangsa Belanda berlayar ke Nusantara untuk mengapalkan sendiri rempah-rempah secara langsung dari Nusantara, pada tahun 1595 ekspedisi Belanda yang pertama siap berlayar menuju Nusantara. Empat buah kapal berangkat di bawah pimpinan Cornelis de Houtman, jalan laut ke arah Timur (Asia) dilakukan bangsa Belanda sejak akhir abad ke-16 setelah berhasil memperoleh peta-peta dan informasi ke Timur dari bangsa Italia (Venesia) yang banyak berjasa membuat peta ke Timur yang kemudian digunakan oleh bangsa Portugis.[2] Selain mengandalkan peta-peta dari Italia, Belanda juga memakai rincian-rincian pelayaran ke Asia yang di dapatkan dari orang Belanda yang bekerja pada kapal-kapal Portugis yaitu Jan Huygen van Linschoten yang pada tahun 1595-96 menerbitkan bukunya yang berjudul Itinerario naer Oost ofte portugaels Indien (‘Catatan Perjalanan ke Timur atau Hindia Portugis’) yang memuat peta-peta dan deskripsi-deskripsi yang rinci mengenai penemuan-penemuan Portugis.
Cornelis de Houtman berlayar menuju ke Nusantara dengan menyusuri pantai barat Afrika serta mengitari dan singgah di Tanjung Harapan, setelah melewati Tanjung Harapan mereka melintasi Samudra Hindia dan masuk ke Nusantara melalui perairan di selatan Sumatra hingga memasuki Selat Sunda, di Selat Sunda kapal-kapal de Houtman menerima tawaran dari juragan perahu yang mengantarkan mereka ke Banten dengan sewa 5 real.
Pada bulan Juni 1596 kapal-kapal Cornelis de Houtman tiba di Banten yang merupakan pelabuhan lada dan perdagangan rempah-rempah terbesar di pulau Jawa yang ketika itu juga telah menghimpun hasil-hasil dari daerah-daerah sekitarnya dan juga Maluku, di Banten orang-orang Belanda terlibat konflik dengan orang-orang Portugis dan pribumi karena orang Belanda tidak berlaku sopan.
De Houtman kemudian berlayar kembali menuju timur dengan menyusuri pantai utara pulau Jawa dan mengitari Selat Bali menuju Samudera Hindia untuk kembali ke Belanda, pada tanggal 14 Agustus 1597 tiba kembali di Tessel dengan membawa cukup banyak rempah-rempah, dengan keberhasilan pelayaran pertama tersebut membuat pelayaran-pelayaran berikutnya meningkat ke Nusantara. Pada tahun 1598 dua puluh dua buah kapal milik lima perusahaan yang berbeda mengadakan pelayaran menuju Nusantara di bawah pimpinan van Nede, van Neck, van Heemskerck, dan van Marwijck.
Dengan dua dari kapalnya, Kapal Amsterdam (200 ton; 60 awak kapal; 6 meriam besar dan 12 meriam kecil dari tembaga yang dapat menembakkan bola-bola besi; serta 4 meriam besar dan 6 meriam kecil untuk menembakkan bola-bola batu) dan Kapal Utrecht yang sedikit lebih kecil-van Warwijck kemudian berlayar ke Ternate untuk membeli cengkeh. Sedangkan van Heemskerk dengan Kapal Gelderland dan Zeeland yang lebih mengesankan itu, berlayar ke Pulau Lonthor atau Pulau Banda Besar, pulau terbesar dari Kepulauan Banda yang mempunyai pohon pala jauh lebih banyak.[3] Armada yang berada di bawah pimpinan Jacob van Neck-lah yang pertama tiba di Maluku pada bulan Maret 1599 dan melakukan pembelian rempah-rempah dan kembali ke Belanda pada tahun 1599-1600 dengan mengangkut cukup banyak rempah-rempah sehingga menghasilkan keuntungan sebesar 400 persen. VOC kemudian juga memesan kapal-kapal layar berukuran kecil yang dapat digunakan di perairan nusantara. Sejak abad ke-17 VOC telah menggunakan kapal-kapal layar yang kecil sejenis jacht dan pinas yang berukuran sekitar 100 hingga 250 ton.[4]
Dengan banyaknya persaingan antara perseroan-perseroan ekspedisi Belanda yang mengakibatkan banyaknya pengiriman rempah-rempah ke Eropa, mengakibatkan semakin kecilnya keuntungan yang diperoleh. Oleh sebab itu, pada tahun 1598 parlemen Belanda (staten General) mengajukan sebuah usulan supaya perseroan-perseroan yang saling bersaing itu menggabungkan kepentingan mereka ke dalam satu fusi. Akhirnya berhasilah didirikan Gabungan Perseroan yang pada bulan Maret 1602 disahkan oleh Staten-General Republik kesatuan Tujuh Propinsi berdasarkan suatu piagam yang memberi hak eksklusif kepada perseroan untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan kepulauan Salomon.[5] Pimpinan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) diwakili oleh sistem majelis (kamer) untuk enam wilayah di negeri Belanda yang seluruhnya berjumlah tujuh belas orang dan disebut Heeren Zeventien (Tuan-tuan Tujuh Belas).
 Waktu VOC mulai kegiatannya di Nusantara dihadapinya suatu dunia perdagangan internasional dengan sistem terbuka. Perdagangan rempah-rempah menempati kedudukan yang utama akan tetapi tidak terpisah dari perdagangan beras, sagu, kain dan komoditi lainnya.[6] Kain didatangkan oleh pedagang dari Gujarat dan Benggali dan beras dipegang oleh pedagang Jawa. Dalam jaringan transaksi dan transportasi komoditi-komoditi tersebut di atas dengan teknologi navigasi dari zaman itu maka dua basis pemusatan perdagangan dan pelayaran ternyata mempunyai fungsi  yang strategis sekali. Garis Malaka-Maluku memang secara struktural merupakan sistem yang berfungsi secara optimal.[7] Malaka adalah tempat pemasaran berbagai komoditi seperti lada, rempah-rempah, kayu cendana dan bahan pakaian dengan mutu tinggi dan Maluku sebagai penghasil rempah-rempah (pala dan fuli dari Pulau Banda)  Selain kedua wilayah tersebut bandar Makassar juga memiliki peranan sangat penting karena merupakan bandar transito yang menghubungkan Maluku dan Malaka, sehingga membuat ramainya perdagangan, barang-barang dari negeri sekitar mengalir ke Makassar, seperti beras, kayu hitam, dan damar.
Menurut Poelinggomang (2004: 41), perkembangan bandar Makassar ditentukan oleh tiga faktor. Pertama, letaknya yang strategis karena posisinya berada di tengah-tengah dunia perdagangan. Kedua, intervensi bangsa Eropa dalam dunia niaga telah memberikan peluang bagi pedagang-pedagang di pusat niaga yang mengitarinya mengalihkan kegiatan mereka ke Makassar. Ketiga, peranan penduduk di daerah sebagai pedagang dan pelaut yang melakukan pelayaran niaga ke daerah-daerah produksi dan bandar niaga lain, yang kemudian memperdagangkannya ke bandar Makassar. Kegiatan perdagangan maritim yang menggunakan perahu dan kapal layar dipengaruhi oleh angin muson, yaitu muson barat laut dan muson timur. Perubahan muson tersebut menciptakan dua jalur pelayaran dan perdagangan, yaitu timur-barat dan utara selatan. Jalur timur-barat menciptakan dua jalur pelayaran penting. Pertama, dari Malaka menyusuri pesisir utara pulau Sumatra dan pulau Jawa, terus ke Nusa Tenggara sampai pulau Flores dan berlayar memasuki Maluku bagi yang mencari rempah-rempah dan juga ke Timor dan Sumba (Nusa Tenggara Timur) untuk memperoleh kayu cendana. Pelayaran balik mengikuti jalur yang sama. Kedua, dari Malaka ke Tanjung Pura kemudian ke Makassar terus menuju Buton sampai ke Maluku, dan kembali dengan jalur yang sama.[8] Selain melakukan pelayaran untuk perdagangan VOC juga melakukan pelayaran Hongi dengan perahu kora-kora yang dimaksudkan untuk memantau penanaman dan perdagangan rempah-rempah oleh petani, pemantauan penanaman bertujuan menjaga kestabilan produksi,agar jumlahnya tidak berlebihan, kalau jumlah terbatas, harga rempah-rempah di Eropa akan tetap tinggi. Adapun pemantauan perdagangan dimaksudkan agar petani tidak menjual hasil panennya kepada pembeli selain VOC.
Pada waktu itu Belanda hanya menguasai jalur-jalur  pelayaran yang menghubungkan enclave-enclave mereka seperti Makassar, Manado, Ternate, Ambon, Banda, Bima, Kupang, Banjarmasin, Sambas, Pontianak, Palembang, Lampung, Padang, dan pelabuhan-pelabuhan di Jawa. Diluar jalur-jalur utama itu perdagangan antardaerah di dominasi oleh pelayaran pribumi.[9] Di daerah-daerah itulah VOC berhubungan dengan Kerajaan-kerajaan yang menimbulkan  terjadinya pertempuran melawan VOC yang diakibatkan keinginan VOC melakukan monopoli perdagangan diantaranya adalah Kerajaan Banten,Kerajaan Mataram dan Kerajaan Makassar.
Letak Banten di dekat Selat Sunda sebagai pintu gerbang alternatif bagi pelayaran dari Barat menguntungkan perdagangannya karena menarik banyak pedagang Barat dan juga Asia seperti Persia, India, Siam, Vietnam, China, Filipina, dan Jepang. Kerajaan Banten juga memiliki suatu armada yang memiliki model Eropa, kapal-kapal yang berlayar juga sudah menggunakan surat jalan. Namun akibat intervensi VOC yang ingin menguasai monopoli perdagangan lada Banten yang sangat banyak  yang mengakibatkan Kerajaan Banten mengalami krisis pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, Perang merebut Jakarta dari tangan Pangeran Wijayakrama, sekitar tahun 1618-1619, juga menimbulkan reaksi dari Kerajaan Banten yang merasa akan lebih terancam baik kedudukan ekonomi maupun politiknya. Kecuali itu, Jakarta sebelum dikuasai oleh VOC merupakan daerah yang dianggap bagian dari Kerajaan Banten. Reaksi Kerajaan Banten ini memuncak menjadi perang yang terus menerus memuncak pada zaman pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Diantaranya pada tahun 1656 Kerajaan Banten menyerang markas VOC di Batavia dan menghancurkan kapal-kapal VOC, akibat serangan itu VOC menyusun suatu rencana penyelesaian dengan cara ikut campur dalam konflik internal Kerajaan Banten yang waktu itu terjadi pertikaian antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya Sultan Haji yang sama-sama memiliki ambisi kekuasaan. Sultan Haji yang di bantu oleh VOC akhirnya berhasil menaiki tahta kekuasaan, dengan naiknya Sultan Haji sebagai penguasa Banten akhirnya Kerajaan Banten masuk kedalam pengaruh VOC yang mengakibatkan Banten melepaskan kebijakan pelabuhan yang bebas, mengusir para pedagang selain VOC dan memonopoli perdagangan lada.
Salah satu motif utama yang mendorong VOC ikut campur tangan dalam politik Kerajaan Mataram adalah keinginan untuk menguasai daerah Pesisir. Negeri ini menjadi semakin penting bagi VOC bukan karena ekspor utama VOC berasal dari sana atau karena menjadi pusat pemasok beras, yang tanpa itu Belanda dan sekutu-sekutunya tidak dapat hidup , dan kayu, yang tanpa itu mereka tidak dapat membangun kapal-kapal mereka, Kerajaan ini juga merupakan suatu ancaman yang potensial bagi keamanan Batavia, kepentingan dagang VOC hampir seluruhnya terbatas di pesisir Jawa, tetapi kejadian-kejadian di sana mempunyai kaitan yang sangat erat dengan wilayah pedalaman sehingga orang-orang Belanda akhirnya terpaksa bergerak ke jantung Pulau Jawa.[10] Setelah VOC memaksakan monopoli perdagangannya didaerah Pesisir Pulau Jawa dan penguasaan VOC atas Jakarta tahun 1619 itu juga mengakibatkan ketidaksenangan Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Sultan Agung yang sedang meluaskan pengaruhnya ke seluruh Jawa dan daerah-daerah diluar Jawa, reaksi-reaksi Kerajaan Mataram makin meningkat. Serangan besar-besaran oleh Kerajaan Mataram pada tahun 1618 dan 1629 terhadap markas VOC di Batavia merupakan bukti-bukti perlawanan terhadap penetrasi politik VOC.
Sunan Paku Buwono III tetap meneruskan kebijakan politik pendaulunya. Ketegangan yang mengeras berubah menjadi peperangan berkepanjangan antara keraton yang disokong penuh oleh VOC melawan pangeran Mangkubumi yang beraliansi dengan Raden Mas Said. Perang terbuka dan gerilya selama 6 tahun (1749-1755) ternyata cukup melelahkan kedua belah pihak. Pada tanggal 13 Februari 1755 dicapai kesepakatan antara Sunan Paku Buwono III dengan Pangeran Mangkubumi. Isi perjanjian itu bahwa Pangeran Mangkubumi diberi separuh kerajaan Mataram dengan ibukota di Yogyakarta. Perjanjian ini disebut Perjanjian Giyanti atau Babad Palihan Negari. Perjanjian Giyanti ini intinya adalah membagi Negara Mataram menjadi dua bagian. Separuh diperintah oleh Susuhunan Paku Buwono III dengan ibukota Surakarta, bagian yang lain dikuasai oleh Susuhunan Kebanaran yang sejak itu berganti gelarnya menjadi Sultan Hamengku Buwono I, dengan ibukota Ngayogyakarta.
Bagaimana juga, kini campur tangan VOC telah memungkinkan seorang raja, meskipun tidak mendapat dukungan rakyat Jawa yang cukup memadai untuk menjalankan kekuasaan secara efektif dan menuntut legitimasi, dapat duduk di atas singgasananya. VOC dapat melindunginya, tetapi tidak dapat membuatnya sah atau memberinya alat-alat untuk memerintah. VOC selalu percaya bahwa legitimasi itu pada dasarnya hanya tergantung dari keturunan dari raja sebelumnya. Selanjutnya VOC percaya bahwa kekuasaan raja lebih absolut daripada yang diperkenankan oleh tradisi Jawa dan situasi. Oleh karena itulah, maka dalam usahanya menegakkan stabilitas, VOC mendukung para penguasa yang oleh tokoh-tokoh terkemuka Jawa diyakini tidak mempunyai hak yang sah atau tidak memiliki kecakapan untuk memerintah. Dengan demikian, maka pihak Belanda lebih banyak memperburuk daripada memecahkan sumber instabilis ini.[11]
Politik laut yang bebas memungkinkan perkembangan perdagangan di bandar Makassar meningkat serta kemunduran pelabuhan-pelabuhan di jawa mengakibatkan perkembangan yang pesat dan bandar Makassar yang menjadi pelabuhan transito atau entrepot antara Maluku dan Malaka, sangat tergantung pada rempah-rempah dari Maluku, Seram, dan Ambon serta komoditi lainnya seperti beras serta bahan makanan lainnya dan juga ekspor penting yaitu, pala dan cengkeh yang didatangkan dari Banda oleh pedagang Jawa, Melayu, dan kemudian orang Banda sendiri.[12]
Oleh karena itu, sistem monopoli perdagangan VOC akan mengancam kepentingan Kerajaan Makassar di bandar Makassar. Setelah Belanda mulai menduduki pulau di daerah penghasil rempah-rempah terjadi penyelundupan rempah-rempah yang sangat ramai ke pelabuhan Makassar. Peperangan dengan VOC juga tidak bisa diredam sejak tahun 1615, Belanda menjalin persekutuan dengan pangeran Bugis yaitu Arung Palakka seorang prajurit yang terkenal. Dengan bantuan Arung Palakka akhirnya belanda memaksa Sultan Hasanuddin untuk menandatangani Perjanjian Bungaya (18 November 1667). Akan tetapi, pada mulanya perjanjian ini ternyata juga tidak mempunyai arti. Hasanuddin mengobarkan lagi pertempuran, sehingga perlu dilakukan sebuah serangan besar-besaran yang kedua terhadapnya sejak bulan April 1668 sampai Juni 1669. Kali ini Sultan Makassar dan kaum bangsawan menderita kekalahan yang sangat menentukan. [13] kini perjanjian bungaya benar-benar dilaksanakan, sehingga menimbulkan perubahan besar terhadap politik Sulawesi Selatan.
Pelayaran Belanda ke Nusantara menimbulkan pengaruh terhadap masyarakat Nusantara seperti penyebaran agama Kristen, guru-guru sekolah yang didatangkan dari Belanda untuk mengajar didaerah kekuasaannya menjadikan penduduk setempat menjadi terpelajar dan menciptakan suatu kristiani yang ditunjang dengan sistem sekolah. Ketika orang Belanda memenuhi permintaan mereka untuk memberikan hadiah-hadiah kepada “orang-orang kaya” (kepala kampung atau orang-orang tua) serta pembayaran bagi syahbandar (kepala pelabuhan), mulailah perdagangan barter antara barang dagangan Belanda dengan rempah-rempah.[14] Di empat pulau, yaitu Pulau Ambon, Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut, masyarakat yang menanam cengkih di lahan-lahan yang diberikan VOC yang setiap keluarga wajib menanam 80 pohon cengkih dan setelah panen harus di jual kepada VOC dengan harga 56 ringgit setiap 110kg. Uang yang diterima penduduk itu digunakan untuk membeli barang-barang “mewah”, seperti berbagai macam kain cita (chitzen) yang diimpor VOC dari India, perabot yang terbuat dari besi dan beras yang dijual para pedagang Makassar, dan lain sebagainya.[15] Para pedagang dari Makassar dan Jawa berlomba-lomba menerobos blokade kapal-kapal VOC untuk mendapatkan cengkih di keempat pulau itu, karena sistem monopoli di keempat pulau itu tidak benar-benar terkendali.


DAFTAR PUSTAKA
Ricklefs, M. C..Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995
A.Hanna, Willard..Indonesian Banda Colonialism and Its Aftermath in the Nutmeg Islands. Jakarta: PT Gramedia 1983.
Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, dari Emporium sampai Imperium, jilid I . Jakarta: PT Gramedia, 1987.
Hamid, Abd Rahman. Sejarah Maritim Indonesia. Yogyakarta: Ombak, 2013.
Burhanudin, Safri, et. Al. SejarahMaritim Indonesia: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia dalam Proses Integrasi Bangsa sejak Jaman Prasejarah hingga Abad XVII. Semarang: Pusat Kajian Sejarah dan Budaya Maritim Asia Tenggara-Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro, bekerjasama dengan Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Non Hayati, Badan Riset Kelautan perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003.
Poeponegoro. Marwati D & Nugroho Notosusanto (2008) Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka, 2008




[1]  Ricklefs, M. C..Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995, hlm 37
[2]  Poeponegoro. Marwati D & Nugroho Notosusanto (2008) Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm 29
[3]   A. Hanna, Willard..Indonesian Banda Colonialism and Its Aftermath in the Nutmeg Islands. Jakarta: PT Gramedia, 1983. Hlm. 7-9
[4]  Poeponegoro. Marwati D & Nugroho Notosusanto (2008) Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm 51
[5] J. C. Van Leur, Indonesian Trade and Society, (The Hague/Bandung, van Hoeve Ltd, 1955), hlm. 176-177
[6]  Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, dari Emporium sampai Imperium, jilid I . Jakarta: PT Gramedia, 1987, hlm 72
[7] Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, dari Emporium sampai Imperium, jilid I . Jakarta: PT Gramedia, 1987, hlm 73
[8] Hamid, Abd Rahman. Sejarah Maritim Indonesia. Yogyakarta: Ombak, 2013, hlm 156-157
[9]  Burhanudin, Safri, et. Al. SejarahMaritim Indonesia: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia dalam Proses Integrasi Bangsa sejak Jaman Prasejarah hingga Abad XVII. Semarang: Pusat Kajian Sejarah dan Budaya Maritim Asia Tenggara-Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro, bekerjasama dengan Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Non Hayati, Badan Riset Kelautan perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003, hlm 83
[10]   Ricklefs, M. C..Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995, hlm 104.
[11] Ricklefs, M. C..Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995, hlm 119.
[12] Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, dari Emporium sampai Imperium, jilid I . Jakarta: PT Gramedia, 1987, hlm 88.
[13] Ricklefs, M. C..Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995, hlm 99.
[14] A. Hanna, Willard..Indonesian Banda Colonialism and Its Aftermath in the Nutmeg Islands. Jakarta: PT Gramedia, 1983, hlm 11.
[15]  Poeponegoro. Marwati D & Nugroho Notosusanto (2008) Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm 37